Jumat, 03 Mei 2019

Kasus Pelanggaran Etika Bisnis pada PT Tirta Fresindo Jaya


Pendahuluan
            Menurut Hill dan Jones , etika bisnis adalah suatu ajaran untuk membedakan antara salah dan benar. Hal ini dapat memberikan pembekalan kepada setiap pemimpin perusahaan ketika mempertimbangkan untuk mengambil keputusan strategis yang terkait dengan masalah moral yang kompleks. Etika bisnis ialah metode yang digunakan perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Proses tersebut yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Seluruh proses ini mencakup bagaimana perusahaan menjalankan bisnis secara adil, mematuhi hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.
Berikut ini adalah prinsip-prinsip etika bisnis menurut  Sonny Keraf ( 1998) yang dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan :
1. Prinsip kejujuran
Kejujuran adalah  prinsip dasar yang merupakan kunci  kesuksesan sebuah bisnis.Tanpa dilandasi prinsip kejujuran dalam semua aktivitasnya maka sebuah bisnis tidak akan mampu bertahan dalam jangka panjang.  Relevansi prinsip kejujuran ini adalah dalam hal pemenuhan syarat‐syarat perjanjian dan kontrak, dalam penawaran barang dan jasa dengan mutu dan harga yang sebanding serta dalam hubungan kerja intern suatu perusahaan.
2. Prinsip otonomi
Dalam prinsip otonomi seseorang dituntut untuk mempunyai sikap dan kemampuan dalam mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri dengan tepat serta bisa mempertanggungjawabkan keputusan tersebut. Pelaku usaha  yang otonom mempunyai kesadaran penuh atas apa yang menjadi kewajibannya dalam bisnisnya.  Dia sadar dan tahu akan tindakannya, bebas dalam melakukan tindakannya, dan bertanggung jawab atas tindakannya, baik terhadap diri sendiri maupun kepada pihak lain yang terkait. Perusahaan yang mempunyai prinsip otonomi bebas mengambil keputusan berdasarkan visi dan misinya tanpa bergantung kepada pihak lain sekaligus tidak bertentangan dengan pihak lain.

3. Prinsip keadilan
Dalam prinsip keadilan, semua pihak terkait yang memberikan kontribusi langsung atau tidak langsung terhadap keberhasilan bisnis, akan mendapatkan perlakuan yang sama dan adil. Adil berarti sesuai dengan aturan yang berlaku dan sesuai hak masing-masing serta dapat dipertanggungjawabkan. Dengan prinsip keadilan maka tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya.
4. Prinsip saling menguntungkan
Pada prinsip saling menguntungkan menuntut agar kegiatan bisnis yang dijalankan bisa menguntungkan semua pihak. Hal terpenting bahwa prinsip ini bisa mengakomodasi hakikat dan tujuan bisnis,  di mana pelaku usaha ingin mendapat keuntungan. Di isisi lain konsumen juga ingin mendapat barang atau jasa berkualitas yang memuaskan.
5. Prinsip integritas moral
Dalam prinsip ini pelaku usaha dituntut untuk menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baiknya dan nama baik perusahaannya. Prinsip ini merupakan tuntutan dan dorongan internal pelaku usaha dan perusahaan untuk menjadi yang terbaik dan dapat dipercaya masyarakat.  Penerapan prinsip ini harus dilakukan semua pihak, mulai dari pemilik, karyawan hingga manajemen.
Menurut Fahmi, (2013:9) permasalahan permasalahan umum yang terjadi dalam etika bisnis antara lain:
1.      Pelanggaran etika bisnis dilakukan oleh pihak-pihak yang mengerti etika bisnis. Dilakukan dengan sengaja karena faktor ingin mengejar keuntungan dan menghindari kewajiban-kewajiban yang selayaknya harus dipatuhi.
2.      Keputusan bisnis sering diambil dengan mengesampingkan norma norma atau aturan-aturan yang berlaku, misalnya Undang-Undang perlindungan Konsumen. Keputusan bisnis sering mengedepankan materi atau mengejar target perolehan keuntungan jangka pendek semata.
3.      Keputusan bisnis sering dibuat secara sepihak tanpa memperhatikan atau bahkan tanpa mengerti ketentuan etik yang disahkan oleh lembaga yang berkompeten seperti Kode Etik Perhimpunan Auditor Internal Indonesia (PAAI), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008/ tentang Jasa Akuntan Publik, Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 2 Tahun 2007 tentang Kode Etik BPK-RI, Kode Etik PsikologiIndonesia, Kode Etik Advokat Indonesia, dan lain sebagainya.
4.      Kontrol dari pihak berwenang dalam menegakkan etika bisnis masih dianggap lemah. Sehingga kondisi ini dimanfaatkan untuk mencapai keuntungan pribadi atau kelompok. 

            Namun terkadang masih ada perusahaan-perusahaan baik skala besar atau kecil masih enggan untuk menerapkan etika bisnis dalam menjalankan usahanya. Tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen ataupun masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya larangan beredar, larangan beroperasi dan lain sebagainya.
Persaingan antar bisnis ini membuat perusahaan terutama perusahaan-perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering kali melakukan pelanggaran etika dalam berbisnis, bahkan terkadang melanggar undang-undang ataupun norma-norma yang berlaku. Seperti kasus yang sedang menimpa PT Tirta Fresindo Jaya yang merupakan anak perusahaan Mayora Grup, yang memproduksi air minum kemasan Le Minerale. Dalam menjalankan roda bisnisnya PT Tirta Fresindo Jaya diduga menggunakan cara-cara yang menurut masyarakat sekitar pabrik tidaklah etis dan sangat merugikan masyarakat dan lingkungan sekitar. Menurut dugaan pabrik PT Tirta Fresindo Jaya yang berlokasi di Kecamatan Baros melakukan tindakan privatisasi air dengan menutup delapan mata air sumber pertanian warga sekitar untuk kepentingan perusahaan. Hal ini menyebabkan lahan sawah warga tidak terairi sejak perusahaan ini berdiri. Dari peristiwa tersebut terang saja memicu demo besar di lokasi pabrik oleh aliansi masyarakat dan mahasiswa yang menuntut penutupan pabrik tersebut.

Kasus :
Bisnis minuman kemasan yang dilakukan oleh PT Tirta Fresindo Jaya, anak usaha Mayora Group diklaim telah menyerobot Gunung Karang di Kabupaten Pandeglang, Banten. Akibatnya, warga yang telah bertahun-tahun bergantung pada mata air dari kaki gunung itu, mengalami kekeringan. Mereka pun mengadu ke kantor bupati.Sayangnya, aduan mereka hanya dianggap angin lalu, hingga berujung pada emosi warga dengan merusak gudang perusahaan.
Seperti apa konflik di sana? Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR). PT Tirta Fresindo Jaya, anak usaha Mayora Group mulai masuk ke Banten di tahun 2012. Pasalnya di Desa Cadasari, yang posisinya berada di perbatasan antara Kabupaten Pandeglang dan Serang, ada mata air yang masih jernih juga melimpah, yaitu Mata Air Gunung Karang. Mata air itu, selama bertahun-tahun digunakan masyarakat sekitar; petani maupun peternak, termasuk pesantren untuk bertani dan kebutuhan sehari-hari.
Namun kehadiran perusahaan tersebut tak disadari warga setempat. Sebab sepengetahuan mereka, PT Tirta Fresindo Jaya hanya berencana membangun gudang. Tapi setahun setelahnya atau pada 9 Desember 2013, Kepala Dinas Tata Ruang Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Pandeglang, mengeluarkan SK Nomor 600/548.b/SK-DTKP/XII/2013. SK tersebut berisi pemberian persetujuan site plan kepada perusahaan. SK Kepala Dinas Tata Ruang Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Pandeglang inilah yang dijadikan rujukan bagi Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Pandeglang mengeluarkan izin lokasi pembangunan industri minuman ringan PT. Tirta Fresindo dengan Nomor 503/Kep.02-BPPT/2014 tertanggal 30 Januari 2014. 
Dari situ, baru lah warga tahu pabrik didirikan untuk pengelolaan air minum kemasan. Dan, delapan mata air yang mengalir dari Gunung Karang ditimbun. Sejak itu, gelombang protes hingga aksi demo dari petani, peternak, ulama, dan santri bermunculan. Alasannya,  Kecamatan Cadasari dalam kawasan resapan air dan kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B). Belakangan, pada 21 November 2014, bekas Bupati Pandeglang Erwan Kurtubi memutuskan menghentikan kegiatan investasi PT Tirta Fresindo Jaya lewat surat Nomor 0454/1669-BPPT/2014.Keputusan bekas Bupati Pandeglang itu rupanya disokong DPRD Provinsi Banten yang mengimbau agar perusahaan menghentikan segala aktivitasnya.
Tapi apa yang terjadi? PT Tirta Fresindo, anak usaha Mayora Group, tetap melenggang tak peduli. Salah satu warga, Sanusi, mengatakan perusahaan melanggar ketentuan soal perizinan.  “Soal kepemilikan lahan didatangi oleh rombongan calo tanah. Mereka datang ke perorangan terus dibeli lah. Kalau peruntukannya untuk industri kan bukan seperti itu pembebasannya. Mereka atur dulu perizinan, atur dulu AMDALnya dan sebagainya. Setelah sesuai, baru pembebasan lahan, ” ungkap Ustad Uci. Ahmad Herwandi dari Koalisi Hak Atas Air mengatakan, proses perizinan dan pembangunan pabrik PT Tirta Fresindo Jaya sebenarnya sudah bermasalah sejak 2014. “Inikan dulu pernah ada pembekuan izin oleh bekas Bupati yang lama pak Erwan.
          Namun di tahun 2016 tanpa sebab, PT Mayora itu sudah beroperasi. Wilayah itu peruntukannya bukan untuk industri tetapi sebagai resapan air, itukan sudah melanggar Perda RT RW,” kata Ahmad Herwandi. Hanya saja, Bupati Pandeglang Irna Narulita, tetap ngotot melanjutkan investasi air minum kemasan PT Tirta Fresindo Jaya atas nama pembangunan. Hal itu disampaikan Bupati Irna dalam coffee morning dengan Polda Banten di Pendopo Kabupaten Pandeglang, awal April 2016.
Pasca insiden 6 Februari 2017, perusakan dan pembakaran backhoe, persoalan izin PT Tirta Freshindo Jaya diambil alih Pemerintah Provinsi Banten.Pemprov pun membentuk satgas yang dipimpin Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Banten, Hudaya Latunconsina. Tugas satgas itu menganalisa perizinan yang dikantongi anak usaha Mayora Group ini, serta dampak lingkungannya.  “Surat dari provinsi kan belum terbit. Diharapkan tadinya hari ini terbit tetapi saya dapat tugas dari Bappenas dan Kemendagri. Kalau bisa kita dorong besok pak gubernur bisa tandatangan. Persoalan air itu persoalan yang berbeda, pengaturan air diatur oleh negara dan tidak boleh dikuasai oleh pelaku usaha," kata Hudaya Latuconsina.
Menurut Hudaya, dari hasil rapat bersama yang dihadiri perwakilan Pemkab Pandeglang, Pemkab Serang dan beberapa SKPD pada 20 Februari 2017, diputuskan untuk menghentikan proses pembangunan pabrik. Kata dia, hasil kajian bersama antara Pemkab Pandeglang dan Serang ditemukan adanya pelanggaran terkait penguasaan air oleh korporasi yang dilarang UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Selain itu, pendirian pabrik juga dinilai melanggar tata ruang dan wilayah karena kawasan tersebut diperuntukan untuk pertanian. Sementara itu, Juru Bicara PT Mayora Group, Sribugo Suratmo, mengaku pasrah dengan apapun keputusan pemerintah daerah.
 “Nanti saya cek, saya tidak tahu informasinya. Kedua, itu pabrik baru belum beroperasi full, baru pembangunan. Kalau  memang tidak diizinkan resmi dan segala macam ya sudah,”ungkap  Sriboga.”

Analisis :
Masih ada perusahaan-perusahaan baik skala besar atau kecil masih enggan untuk menerapkan etika bisnis dalam menjalankan usahanya. Tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen ataupun masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya larangan beredar, larangan beroperasi dan lain sebagainya.
Dalam menjalankan aktivitas bisnisnya hendaknya perusahaan menerapkan dengan benar prinsip-prinsip etika bisnis tujuannya agar tidak ada lagi pelanggaran-pelanggaran yang tentu saja akan merugikan masyarakat. Secara umum etika dalam berbisnis merupakan acuan cara yang harus ditempuh oleh sebuah perusahaan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan. Untuk itu etika bisnis memiliki prinsip-prinsip umum yang dijadikan fondasi untuk melaksanakan kegiatan agar tujuan bisnis dapat tercapai.

Saran :
Sebaiknya pemerintah di Kabupaten Pandeglang, Banten segera mengambil langkah-langkah yang tegas untuk menghentikan kegiatan privastisasi sumber mata air yang dilakukan oleh PT. Tirta Fresindo Jaya karena dapat merugikan masyarakat sekitarnya.

Referensi
Heru Septian (2017) STUDI KASUS PELANGGARAN ETIKA BISNIS PADA PT TIRTA FRESINDO JAYA