Pendahuluan
Menurut
Hill dan Jones , etika bisnis adalah suatu ajaran untuk membedakan antara salah
dan benar. Hal ini dapat memberikan pembekalan kepada setiap pemimpin
perusahaan ketika mempertimbangkan untuk mengambil keputusan strategis yang
terkait dengan masalah moral yang kompleks. Etika bisnis ialah metode yang
digunakan perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Proses tersebut yang
mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan
juga masyarakat. Seluruh proses ini mencakup bagaimana perusahaan menjalankan
bisnis secara adil, mematuhi hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada
kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.
Berikut ini adalah prinsip-prinsip etika
bisnis menurut Sonny Keraf ( 1998) yang dapat digunakan dalam proses
pengambilan keputusan :
1. Prinsip kejujuran
Kejujuran adalah prinsip dasar yang
merupakan kunci kesuksesan sebuah bisnis.Tanpa dilandasi prinsip
kejujuran dalam semua aktivitasnya maka sebuah bisnis tidak akan mampu bertahan
dalam jangka panjang. Relevansi prinsip kejujuran ini adalah dalam hal
pemenuhan syarat‐syarat perjanjian dan kontrak, dalam penawaran barang dan jasa
dengan mutu dan harga yang sebanding serta dalam hubungan kerja intern suatu
perusahaan.
2. Prinsip otonomi
Dalam prinsip otonomi seseorang dituntut
untuk mempunyai sikap dan kemampuan dalam mengambil keputusan dan bertindak
berdasarkan kesadarannya sendiri dengan tepat serta bisa mempertanggungjawabkan
keputusan tersebut. Pelaku usaha yang otonom mempunyai kesadaran penuh
atas apa yang menjadi kewajibannya dalam bisnisnya. Dia sadar dan tahu
akan tindakannya, bebas dalam melakukan tindakannya, dan bertanggung jawab atas
tindakannya, baik terhadap diri sendiri maupun kepada pihak lain yang terkait. Perusahaan
yang mempunyai prinsip otonomi bebas mengambil keputusan berdasarkan visi dan
misinya tanpa bergantung kepada pihak lain sekaligus tidak bertentangan dengan
pihak lain.
3. Prinsip keadilan
Dalam prinsip keadilan, semua pihak terkait
yang memberikan kontribusi langsung atau tidak langsung terhadap keberhasilan
bisnis, akan mendapatkan perlakuan yang sama dan adil. Adil berarti sesuai
dengan aturan yang berlaku dan sesuai hak masing-masing serta dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan prinsip keadilan maka tidak boleh ada pihak yang
dirugikan hak dan kepentingannya.
4. Prinsip saling menguntungkan
Pada prinsip saling menguntungkan menuntut
agar kegiatan bisnis yang dijalankan bisa menguntungkan semua pihak. Hal
terpenting bahwa prinsip ini bisa mengakomodasi hakikat dan tujuan
bisnis, di mana pelaku usaha ingin mendapat keuntungan. Di isisi lain
konsumen juga ingin mendapat barang atau jasa berkualitas yang memuaskan.
5. Prinsip integritas moral
Dalam prinsip ini pelaku usaha dituntut untuk
menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baiknya dan nama baik
perusahaannya. Prinsip ini merupakan tuntutan dan dorongan internal pelaku
usaha dan perusahaan untuk menjadi yang terbaik dan dapat dipercaya masyarakat.
Penerapan prinsip ini harus dilakukan semua pihak, mulai dari pemilik, karyawan
hingga manajemen.
Menurut
Fahmi, (2013:9) permasalahan permasalahan umum yang terjadi dalam etika bisnis
antara lain:
1.
Pelanggaran etika bisnis dilakukan oleh
pihak-pihak yang mengerti etika bisnis. Dilakukan dengan sengaja karena faktor
ingin mengejar keuntungan dan menghindari kewajiban-kewajiban yang selayaknya
harus dipatuhi.
2.
Keputusan bisnis sering diambil dengan
mengesampingkan norma norma atau aturan-aturan yang berlaku, misalnya
Undang-Undang perlindungan Konsumen. Keputusan bisnis sering mengedepankan
materi atau mengejar target perolehan keuntungan jangka pendek semata.
3.
Keputusan bisnis sering dibuat secara sepihak
tanpa memperhatikan atau bahkan tanpa mengerti ketentuan etik yang disahkan
oleh lembaga yang berkompeten seperti Kode Etik Perhimpunan Auditor Internal
Indonesia (PAAI), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008/ tentang Jasa
Akuntan Publik, Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 2 Tahun 2007 tentang
Kode Etik BPK-RI, Kode Etik PsikologiIndonesia, Kode Etik Advokat Indonesia,
dan lain sebagainya.
4.
Kontrol dari pihak berwenang dalam menegakkan
etika bisnis masih dianggap lemah. Sehingga kondisi ini dimanfaatkan untuk
mencapai keuntungan pribadi atau kelompok.
Namun
terkadang masih ada perusahaan-perusahaan baik skala besar atau kecil masih
enggan untuk menerapkan etika bisnis dalam menjalankan usahanya. Tindakan yang
tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan akan memancing tindakan balasan dari
konsumen ataupun masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya larangan
beredar, larangan beroperasi dan lain sebagainya.
Persaingan
antar bisnis ini membuat perusahaan terutama perusahaan-perusahaan besar dalam
memperoleh keuntungan sering kali melakukan pelanggaran etika dalam berbisnis,
bahkan terkadang melanggar undang-undang ataupun norma-norma yang berlaku.
Seperti kasus yang sedang menimpa PT Tirta Fresindo Jaya yang merupakan anak
perusahaan Mayora Grup, yang memproduksi air minum kemasan Le Minerale. Dalam
menjalankan roda bisnisnya PT Tirta Fresindo Jaya diduga menggunakan cara-cara
yang menurut masyarakat sekitar pabrik tidaklah etis dan sangat merugikan
masyarakat dan lingkungan sekitar. Menurut dugaan pabrik PT Tirta Fresindo Jaya
yang berlokasi di Kecamatan Baros melakukan tindakan privatisasi air dengan
menutup delapan mata air sumber pertanian warga sekitar untuk kepentingan
perusahaan. Hal ini menyebabkan lahan sawah warga tidak terairi sejak
perusahaan ini berdiri. Dari peristiwa tersebut terang saja memicu demo besar
di lokasi pabrik oleh aliansi masyarakat dan mahasiswa yang menuntut penutupan
pabrik tersebut.
Kasus :
Bisnis minuman kemasan yang dilakukan oleh PT
Tirta Fresindo Jaya, anak usaha Mayora Group diklaim telah menyerobot Gunung
Karang di Kabupaten Pandeglang, Banten. Akibatnya, warga yang telah
bertahun-tahun bergantung pada mata air dari kaki gunung itu, mengalami
kekeringan. Mereka pun mengadu ke kantor bupati.Sayangnya, aduan mereka hanya
dianggap angin lalu, hingga berujung pada emosi warga dengan merusak gudang
perusahaan.
Seperti apa konflik di sana? Berikut kisah
lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR). PT
Tirta Fresindo Jaya, anak usaha Mayora Group mulai masuk ke Banten di tahun
2012. Pasalnya di Desa Cadasari, yang posisinya berada di perbatasan antara
Kabupaten Pandeglang dan Serang, ada mata air yang masih jernih juga melimpah,
yaitu Mata Air Gunung Karang. Mata air itu, selama bertahun-tahun digunakan
masyarakat sekitar; petani maupun peternak, termasuk pesantren untuk bertani
dan kebutuhan sehari-hari.
Namun kehadiran perusahaan tersebut tak
disadari warga setempat. Sebab sepengetahuan mereka, PT Tirta Fresindo Jaya
hanya berencana membangun gudang. Tapi setahun setelahnya atau pada 9 Desember
2013, Kepala Dinas Tata Ruang Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Pandeglang,
mengeluarkan SK Nomor 600/548.b/SK-DTKP/XII/2013. SK tersebut berisi pemberian
persetujuan site plan kepada perusahaan. SK Kepala Dinas Tata Ruang
Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Pandeglang inilah yang dijadikan rujukan
bagi Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Pandeglang
mengeluarkan izin lokasi pembangunan industri minuman ringan PT. Tirta Fresindo
dengan Nomor 503/Kep.02-BPPT/2014 tertanggal 30 Januari 2014.
Dari situ, baru lah warga tahu
pabrik didirikan untuk pengelolaan air minum kemasan. Dan, delapan mata air
yang mengalir dari Gunung Karang ditimbun. Sejak itu, gelombang protes
hingga aksi demo dari petani, peternak, ulama, dan santri bermunculan. Alasannya,
Kecamatan Cadasari dalam kawasan resapan air dan kawasan lahan pertanian
pangan berkelanjutan (LP2B). Belakangan, pada 21 November 2014, bekas Bupati
Pandeglang Erwan Kurtubi memutuskan menghentikan kegiatan investasi PT Tirta
Fresindo Jaya lewat surat Nomor 0454/1669-BPPT/2014.Keputusan bekas Bupati
Pandeglang itu rupanya disokong DPRD Provinsi Banten yang mengimbau agar
perusahaan menghentikan segala aktivitasnya.
Tapi apa yang terjadi? PT Tirta Fresindo,
anak usaha Mayora Group, tetap melenggang tak peduli. Salah satu warga, Sanusi,
mengatakan perusahaan melanggar ketentuan soal perizinan. “Soal
kepemilikan lahan didatangi oleh rombongan calo tanah. Mereka datang ke
perorangan terus dibeli lah. Kalau peruntukannya untuk industri kan bukan
seperti itu pembebasannya. Mereka atur dulu perizinan, atur dulu AMDALnya dan
sebagainya. Setelah sesuai, baru pembebasan lahan, ” ungkap Ustad Uci. Ahmad
Herwandi dari Koalisi Hak Atas Air mengatakan, proses perizinan dan pembangunan
pabrik PT Tirta Fresindo Jaya sebenarnya sudah bermasalah sejak 2014. “Inikan
dulu pernah ada pembekuan izin oleh bekas Bupati yang lama pak Erwan.
Namun di tahun 2016 tanpa sebab, PT
Mayora itu sudah beroperasi. Wilayah itu peruntukannya bukan untuk industri
tetapi sebagai resapan air, itukan sudah melanggar Perda RT RW,” kata Ahmad
Herwandi. Hanya saja, Bupati Pandeglang Irna Narulita, tetap ngotot melanjutkan
investasi air minum kemasan PT Tirta Fresindo Jaya atas nama pembangunan. Hal
itu disampaikan Bupati Irna dalam coffee morning dengan Polda Banten di Pendopo
Kabupaten Pandeglang, awal April 2016.
Pasca insiden 6 Februari 2017, perusakan dan
pembakaran backhoe, persoalan izin PT Tirta Freshindo Jaya diambil alih
Pemerintah Provinsi Banten.Pemprov pun membentuk satgas yang dipimpin Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Banten, Hudaya Latunconsina. Tugas
satgas itu menganalisa perizinan yang dikantongi anak usaha Mayora Group ini,
serta dampak lingkungannya. “Surat dari provinsi kan belum terbit.
Diharapkan tadinya hari ini terbit tetapi saya dapat tugas dari Bappenas dan
Kemendagri. Kalau bisa kita dorong besok pak gubernur bisa tandatangan.
Persoalan air itu persoalan yang berbeda, pengaturan air diatur oleh negara dan
tidak boleh dikuasai oleh pelaku usaha," kata Hudaya Latuconsina.
Menurut Hudaya, dari hasil rapat bersama yang
dihadiri perwakilan Pemkab Pandeglang, Pemkab Serang dan beberapa SKPD pada 20
Februari 2017, diputuskan untuk menghentikan proses pembangunan pabrik. Kata
dia, hasil kajian bersama antara Pemkab Pandeglang dan Serang ditemukan adanya
pelanggaran terkait penguasaan air oleh korporasi yang dilarang UU Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Selain itu, pendirian pabrik juga dinilai
melanggar tata ruang dan wilayah karena kawasan tersebut diperuntukan untuk
pertanian. Sementara itu, Juru Bicara PT Mayora Group, Sribugo Suratmo, mengaku
pasrah dengan apapun keputusan pemerintah daerah.
“Nanti saya cek, saya tidak tahu
informasinya. Kedua, itu pabrik baru belum beroperasi full, baru pembangunan.
Kalau memang tidak diizinkan resmi dan
segala macam ya sudah,”ungkap Sriboga.”
Analisis :
Masih ada
perusahaan-perusahaan baik skala besar atau kecil masih enggan untuk menerapkan
etika bisnis dalam menjalankan usahanya. Tindakan yang tidak etis yang
dilakukan oleh perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen ataupun
masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya larangan beredar, larangan
beroperasi dan lain sebagainya.
Dalam menjalankan aktivitas
bisnisnya hendaknya perusahaan menerapkan dengan benar prinsip-prinsip etika
bisnis tujuannya agar tidak ada lagi pelanggaran-pelanggaran yang tentu saja
akan merugikan masyarakat. Secara umum etika dalam berbisnis merupakan acuan
cara yang harus ditempuh oleh sebuah perusahaan untuk mencapai tujuan yang
sudah ditentukan. Untuk itu etika bisnis memiliki prinsip-prinsip umum yang
dijadikan fondasi untuk melaksanakan kegiatan agar tujuan bisnis dapat tercapai.
Saran :
Sebaiknya pemerintah di Kabupaten Pandeglang, Banten segera
mengambil langkah-langkah yang tegas untuk menghentikan kegiatan privastisasi
sumber mata air yang dilakukan oleh PT. Tirta Fresindo Jaya karena dapat
merugikan masyarakat sekitarnya.
Referensi
Heru Septian (2017) STUDI
KASUS PELANGGARAN ETIKA BISNIS PADA PT TIRTA FRESINDO JAYA